
Peluang Rantai Nilai dan Produk Turunan Kelapa
Repost - olenka.com
Kuntoro Boga Andri Kepala BRMP Perkebunan, Kementan
Olenka, Jakarta - Pembuatan arang batok kelapa secara tradisional di Parigi, Tangerang Selatan, contoh produk turunan bernilai tambah tinggi, banyak diekspor sebagai briket untuk shisha atau barbeque.
Sejak 2024, harga kelapa bulat di Indonesia mengalami lonjakan tajam, terutama di sentra produksi seperti Riau dan Sulawesi Utara. Di Indragiri Hilir, misalnya, harga naik dari Rp3.250 menjadi Rp8.000 per kilogram hanya dalam beberapa bulan. Kenaikan ini tentu menguntungkan petani, meskipun dampaknya tidak merata di semua daerah karena perbedaan akses pasar dan infrastruktur.
Sementara itu, harga di tingkat konsumen meningkat jauh lebih drastis, mencapai Rp13.000 hingga Rp21.000 per kg di kota-kota besar seperti Jakarta. Disparitas harga ini mencerminkan panjangnya rantai distribusi dan ketidakefisienan logistik nasional, yang diperparah oleh meningkatnya ekspor ke negara seperti Tiongkok, sehingga mempersempit pasokan dalam negeri.
Meskipun secara nasional Indonesia masih mencatat surplus produksi kelapa, ketimpangan distribusi dari wilayah timur ke barat menyebabkan kelangkaan di sejumlah daerah industri seperti Kepulauan Riau. Hal ini berdampak langsung pada industri turunan, seperti pengolahan santan, yang terhambat akibat kekurangan bahan baku. Pemerintah mulai menimbang pengaturan ekspor dan perbaikan rantai distribusi untuk melindungi industri dalam negeri.
Di sisi lain, sejumlah inisiatif muncul dari petani yang membentuk koperasi dan mulai memproduksi olahan bernilai tambah seperti virgin coconut oil (VCO) dan kopra secara mandiri. Langkah ini menjadi solusi jangka panjang untuk meningkatkan pendapatan petani, memangkas ketergantungan pada tengkulak, dan membangun sistem agribisnis kelapa yang lebih adil dan berkelanjutan.
Optimalisasi Rantai Nilai Kelapa
Komoditas kelapa di Indonesia memiliki rantai nilai (value chain) yang luas, mencakup beragam produk turunan dari hulu hingga hilir. Kenaikan harga kelapa bulat sejak 2024 tidak hanya berdampak langsung pada pendapatan petani, tetapi juga memengaruhi industri pengolahan yang kini semakin bergairah. Produk seperti minyak kelapa, VCO, serabut, cocopeat, hingga arang tempurung menunjukkan pertumbuhan permintaan baik di pasar domestik maupun ekspor. Meski begitu, tantangan dalam pasokan bahan baku dan distribusi masih menjadi kendala dalam memastikan kesinambungan industri ini.
Minyak kelapa, yang berasal dari kopra, merupakan salah satu produk utama yang telah lama dihasilkan Indonesia. Sebagai produsen minyak kelapa terbesar kedua di dunia, Indonesia mengekspor ratusan ribu ton per tahun. Tren 2024 menunjukkan adanya kenaikan volume ekspor meskipun nilai ekspor berfluktuasi mengikuti harga dunia.
Harga kelapa bulat yang meningkat turut menaikkan biaya bahan baku kopra, yang berpotensi menekan margin industri. Namun demikian, stabilnya permintaan global untuk minyak kelapa, terutama untuk kebutuhan pangan, kosmetik, dan oleokimia, tetap menjaga daya saing produk ini di pasar internasional.
VCO menjadi bintang baru dalam industri olahan kelapa. Dihasilkan melalui proses fermentasi atau cold press dari kelapa segar, VCO banyak diproduksi oleh UMKM dan industri rumahan di sentra kelapa. Produk ini sangat diminati pasar ekspor karena dinilai sebagai minyak sehat dan organik. Nilai tambah VCO bisa mencapai 11 kali lipat dibanding kelapa mentah, menjadikannya peluang emas bagi pelaku usaha kecil.
Produk sampingan kelapa seperti serabut dan debu sabut kini memiliki peran ekonomi yang semakin penting. Serabut kelapa diolah menjadi cocofiber untuk matras dan geotekstil, sementara cocopeat digunakan sebagai media tanam organik. Keduanya mengalami peningkatan permintaan seiring tren hortikultura ramah lingkungan.
Meski potensi ekspornya besar, kontribusi Indonesia masih kecil, hanya sekitar US$4 juta pada tahun 2023, tertinggal jauh dari India. Beberapa daerah seperti Pamekasan mulai ekspor cocofiber ke Tiongkok dan keterlibatan UMKM menjadi kunci untuk memperluas pengolahan sabut dengan dukungan pembiayaan dan akses pasar.
Arang tempurung kelapa atau arang batok dan produk turunannya, seperti briket arang, juga menjadi komoditas ekspor unggulan. Pembuatan arang batok kelapa secara tradisional di Parigi, Tangerang Selatan, contoh produk turunan bernilai tambah tinggi, banyak diekspor sebagai briket untuk shisha atau barbeque.
Indonesia merupakan penyuplai utama briket arang untuk keperluan shisha di Timur Tengah dan Eropa. Produk ini memberikan nilai tambah hingga 4,5 kali lipat dari kelapa mentah. Ribuan unit kecil tersebar di Jawa, Sumatra, dan Sulawesi terlibat dalam produksi ini. Harga arang batok sempat turun pada awal 2023, tetapi pulih seiring membaiknya permintaan ekspor.
Selain produk-produk utama, olahan lain seperti desiccated coconut (kelapa parut kering), nata de coco dari air kelapa, gula kelapa dari nira, dan kerajinan tempurung juga memberikan nilai tambah signifikan. Nilai tambah dari produk seperti nata de coco (3,6 kali), arang batok (4,5 kali), kelapa parut (6 kali), dan VCO (11 kali) menjadi alasan kuat untuk mendorong hilirisasi industri kelapa. Strategi ini tidak hanya menambah devisa tetapi juga membuka lapangan kerja lokal.
Posisi Strategis dan Peluang ke Depan
Indonesia menempati posisi strategis sebagai produsen kelapa nomor dua dunia setelah Filipina, sekaligus penyumbang 58% ekspor kelapa global. Kenaikan harga kelapa bulat sejak 2024 menjadi momentum penting bagi kebangkitan agribisnis kelapa nasional yang sempat lesu.
Namun, produktivitas kelapa Indonesia masih rendah, rata-rata hanya 1,1 ton per hektare per tahun, akibat dominasi pohon tua dan kurang produktif. Untuk menjawab tantangan ini, program rehabilitasi dan peremajaan kebun kelapa perlu dipercepat dengan penggunaan bibit kelapa unggul.
Pemerintah perlu mendorong hilirisasi kelapa agar ekspor tidak lagi didominasi oleh kelapa mentah. Nilai tambah dari olahan jauh lebih tinggi dan memberikan dampak ekonomi langsung bagi pekerja lokal. Namun, hilirisasi juga harus disertai kepastian harga beli hasil petani agar tidak terjadi ketimpangan baru. Wacana pemberlakuan pajak ekspor untuk kelapa butiran bisa menjadi instrumen agar industri dalam negeri lebih kompetitif.
Transmisi harga yang timpang antara pasar dan petani menuntut pembentukan kelembagaan petani yang lebih kuat, seperti koperasi atau kemitraan langsung. Dengan begitu, petani bisa memiliki daya tawar lebih baik dan mengurangi ketergantungan pada tengkulak.
Di Riau, koperasi kelapa telah mulai menjalin kontrak langsung dengan eksportir dan pabrik, membuka jalan distribusi yang lebih efisien. Di sisi lain, perubahan iklim seperti El Niño menurunkan produktivitas pohon kelapa. Oleh karena itu, riset varietas tahan cuaca ekstrem, sistem irigasi sederhana, diversifikasi tanaman, dan pengendalian hama harus menjadi fokus pendampingan teknis oleh pemerintah dan lembaga riset.
Promosi ekspor perlu diperluas dan kelapa harus menjadi bagian dari misi dagang bersama komoditas lain seperti sawit dan karet. Di dalam negeri, pengembangan produk berbasis kelapa seperti santan UHT dan air kelapa kemasan juga mendorong diversifikasi permintaan.
Ke depan, agribisnis kelapa harus diperkuat secara menyeluruh, dari hulu ke hilir. Momentum harga tinggi ini harus dijadikan titik tolak transformasi menuju sistem yang lebih efisien, berkeadilan, dan berkelanjutan, agar Indonesia tak hanya dikenal sebagai raksasa produksi, tetapi juga pemimpin inovasi dan kesejahteraan dalam industri kelapa dunia.